Thursday, January 26, 2012

Bai Fang Li, Si Miskin yg Kaya

Jika Oprah Winfrey menyumbang ratusan dan ribuan dolar, tentu kita kagum
namun tidak terkejut.

Atau bila Bill Gates juga mendermakan uangnya jutaan dolar, kita juga
barangkali menganggap hal hebat yang biasa saja.

Tapi bila seseorang yang miskin yang menyumbang dalam kekurangannya?

........ maka ia barangkali penghuni surga yang diutus ke dunia ....

yang mengajarkan kita untuk bersyukur dan selalu berbagi

Ini cerita mengenai Bai Fang Li yang lebih lengkap.......Thanks

Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh
hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk
memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja
pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran
becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar
biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya
untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk
mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah
jam delapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah
dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa
orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak
orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega,
melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas
yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat
bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di
daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para
penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia
menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya
ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana
ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan
tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh
bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi
beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah
bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari
tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng.
Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang
biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah
menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia
seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara
sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang
suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong.Tangannya
sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu
dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya,
sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk
dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya
yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena
telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil
penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa
mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di
Tianjin . Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah
yang ada.

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah
mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus
berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat
barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan
mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan
tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia
menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan
wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur
pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang
berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu
beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong
roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu
kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan
berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak
membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak,
dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.
"Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya...." jawab anak itu.
"Orang tuamu dimana...?" tanya Bai Fang Li.
"Saya tidak tahu...., ayah ibu saya pemulung.... Tapi sejak sebulan lalu
setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus
bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih
kecil..." sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki
bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik
Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak
perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang
compang camping.

Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu
perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu,
karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah,
jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan
keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa
menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin . Pada pengurus yayasan itu Bai
Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua
penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan
makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang
layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya
mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk
mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa
gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong
kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia
sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang
kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan
dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung
mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat
pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain
yang berbeda warna. Mhmmm... tapi masih cukup bagus... gumannya senang.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli
dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan
tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh
kurusnya.

"Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin
itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia
melakukan semua ini...," katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau
berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya
sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20
tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah
donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.
Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500
(sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak
dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak
dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya
sumbangkan......" katanya dengan sendu.
Semua guru di sekolah itu menangis........

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan.
Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar
RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia
berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk
menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya
yang bertuliskan " Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar
biasa".

Bila SESEORANG yang miskin menyumbang dari kekurangannya, maka ia adalah
salah satu PENGHUNI SURGA yang diutus ke dunia, yang mengajarkan kita untuk
selalu BERSYUKUR dan selalu BERBAGI kepada sesama

No comments:

Post a Comment