Wednesday, January 18, 2012

Bukan utk Marah : Bunga Anggrek & Karpet Kotor

Ada seorang biarawan menyukai bunga anggrek.
Pada suatu hari ketika hendak pergi berkelana,
dia berpesan kepada muridnya, harus hati-hati
merawat pohon bunga anggreknya.
Selama kepergiannya, muridnya dengan teliti memelihara
pohon bunga-bunga anggrek tersebut.
Namun, pada suatu hari ketika sedang menyiram pohon
bunga anggrek tersebut, tanpa sengaja mereka
menyenggol rak-rak pohon tersebut sehingga semua
pohon anggrek berjatuhan dan pot anggrek tersebut
pecah berantakan dan pohon anggrek berserakan.
Muridnya sangat ketakutan, bermaksud menunggu
gurunya pulang dan meminta maaf sambil menunggu
hukuman yang akan mereka terima.

Setelah biarawan pulang mendengar kabar itu,
lalu memanggil para muridnya, dia tidak marah kepada
muridnya, bahkan berkata,
"Saya menanam bunga anggrek, alasan pertama adalah
untuk dipersembahkan di altar Buddha, dan yang kedua
adalah untuk memperindah lingkungan di biara ini,
bukan demi untuk marah saya menanam pohon anggrek ini."
Perkataan biarawan sungguh benar,
"Bukan demi untuk marah menanam pohon anggrek."
Dia bisa demikian toleran, karena walaupun menyukai
bunga anggrek, tetapi di hatinya tdk ada rasa keterikatan
akan bunga anggrek.
Oleh sebab itu ketika dia kehilangan bunga-bunga
anggrek tsb, tdk menimbulkan kemarahan di dlm hatinya.
Sedangkan kita di dlm kehidupan sehari-hari, hal yg
kita khawatirkan terlalu banyak.

Kita terlalu peduli kpd kehilangan & memperoleh,
sehingga menyebabkan keadaan emosi kita tdk stabil.
Kita merasa tdk bahagia.
Maka seandainya kita sedang marah, kita bisa berpikir
sejenak,
"Bkn demi marah menjadi sahabat."
"Bkn demi marah menjadi suami istri."
"Bukan demi marah melahirkan dan mendidik anak."
Maka kita bisa mencairkan rasa marah & kesusahan yg
ada di dlm hati kita & berubah menjadi damai.

Oleh sebab itu setelah membaca artikel ini, ketika engkau
hendak bertengkar dgn sahabat, orang rumah atau
keluarga, engkau hrs ingat perjumpaan kalian, bukan demi
untuk rasa marah.

Mari belajar berlapang dada.


NILAI KARPET

Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan dan kerapian rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih, dan teratur. Suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan hal itu menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum dan berkata kepada sang ibu:

"Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan." Ibu itu kemudian menutup matanya.

"Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?" Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan: "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi."

Seketika muka wanita itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.

"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu dan kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu."

Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.

"Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya.

"Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?"

Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu maksud anda," ujar wanita itu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming). Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.

No comments:

Post a Comment