Ada seorang biarawan menyukai bunga anggrek.
Pada suatu hari ketika hendak
pergi berkelana,
dia berpesan kepada muridnya, harus hati-hati
merawat
pohon bunga anggreknya.
Selama kepergiannya, muridnya dengan teliti
memelihara
pohon bunga-bunga anggrek tersebut.
Namun, pada suatu hari
ketika sedang menyiram pohon
bunga anggrek tersebut, tanpa sengaja
mereka
menyenggol rak-rak pohon tersebut sehingga semua
pohon anggrek
berjatuhan dan pot anggrek tersebut
pecah berantakan dan pohon anggrek
berserakan.
Muridnya sangat ketakutan, bermaksud menunggu
gurunya pulang
dan meminta maaf sambil menunggu
hukuman yang akan mereka terima.
Setelah
biarawan pulang mendengar kabar itu,
lalu memanggil para muridnya, dia tidak
marah kepada
muridnya, bahkan berkata,
"Saya menanam bunga anggrek, alasan
pertama adalah
untuk dipersembahkan di altar Buddha, dan yang kedua
adalah
untuk memperindah lingkungan di biara ini,
bukan demi untuk marah saya
menanam pohon anggrek ini."
Perkataan biarawan sungguh benar,
"Bukan demi
untuk marah menanam pohon anggrek."
Dia bisa demikian toleran, karena
walaupun menyukai
bunga anggrek, tetapi di hatinya tdk ada rasa
keterikatan
akan bunga anggrek.
Oleh sebab itu ketika dia kehilangan
bunga-bunga
anggrek tsb, tdk menimbulkan kemarahan di dlm
hatinya.
Sedangkan kita di dlm kehidupan sehari-hari, hal yg
kita
khawatirkan terlalu banyak.
Kita terlalu peduli kpd kehilangan &
memperoleh,
sehingga menyebabkan keadaan emosi kita tdk stabil.
Kita
merasa tdk bahagia.
Maka seandainya kita sedang marah, kita bisa
berpikir
sejenak,
"Bkn demi marah menjadi sahabat."
"Bkn demi marah
menjadi suami istri."
"Bukan demi marah melahirkan dan mendidik
anak."
Maka kita bisa mencairkan rasa marah & kesusahan yg
ada di dlm
hati kita & berubah menjadi damai.
Oleh sebab itu setelah membaca artikel
ini, ketika engkau
hendak bertengkar dgn sahabat, orang rumah
atau
keluarga, engkau hrs ingat perjumpaan kalian, bukan demi
untuk rasa
marah.
Mari belajar berlapang dada.
NILAI KARPET
Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja,
cucian, makan, kebersihan dan kerapian rumah dapat ditanganinya dengan baik.
Rumah tampak selalu rapih, bersih, dan teratur. Suami serta anak-anaknya sangat
menghargai pengabdiannya itu.
Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih
ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah
berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana
tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah,
hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan hal itu menyiksanya.
Atas saran
keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan
menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh
perhatian, Virginia Satir tersenyum dan berkata kepada sang ibu:
"Ibu
harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan." Ibu itu kemudian
menutup matanya.
"Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang
bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana
perasaan ibu?" Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang
murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan: "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah
ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria
mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi."
Seketika muka wanita itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang,
napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas
membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu dan kotoran
di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu
cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu."
Ibu
itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.
"Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya.
"Bagaimana,
apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?"
Ibu itu tersenyum
dan menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu maksud anda," ujar wanita itu,
"Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat
dilihat secara positif".
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi
mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana,
ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.
Kisah di atas adalah
kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami
Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic
Programming). Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu
bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yang
tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut
pandangnya.
No comments:
Post a Comment