Monday, October 22, 2012

Don't Jugde the Cover

Seorang pemuda mendatangi Zun-Nun dan
bertanya, "Guru, saya tak mengerti mengapa
orang seperti Anda mesti berpakaian apa
adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di
masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya
amat diperlukan, bukan hanya untuk
penampilan melainkan juga untuk banyak
tujuan lain?"
Sang guru hanya tersenyum. Ia lalu
melepaskan cincin dari salah satu jarinya lalu
berkata, "Sobat muda, akan kujawab
pertanyaanmu, tetapi terlebih dahulu lakukan
satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan
bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah
kamu menjualnya seharga satu keping emas?"
Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda
tadi merasa ragu. "Satu keping emas? Saya
tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu."
"Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu
berhasil."
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia
menawarkan cincin itu kepada pedagang kain,
pedagang sayur, penjual daging dan ikan,
serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak
seorang pun berani membeli seharga satu
keping emas. Mereka menawarnya hanya
satu keping perak. Tentu saja pemuda itu tak
berani menjualnya dengan harga satu keping
perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan
melapor, "Guru, tak seorang pun berani
menawar lebih dari satu keping perak."
Zun-Nun sambil tetap tersenyum arif berkata,
"Sekarang pergilah kamu ke toko emas di
belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada
pemilik toko atau tukang emas di sana.
Jangan buka harga, dengarkan saja
bagaimana ia memberikan penilaian."
Pemuda itu bergegas pergi ke toko emas yang
dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun
dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian
melapor, "Guru, ternyata para pedagang di
pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari
cincin ini. Pedagang emas menawarnya
dengan harga seribu keping emas. Rupanya
nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi
daripada yang ditawar oleh para pedagang di
pasar."
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar
lirih, "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi
sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari
pakaiannya. Hanya ‘para pedagang sayur,
ikan dan daging di pasar' yang menilai
demikian. Namun tidak bagi ‘pedagang
emas'."
"Emas dan permata yang ada dalam diri
seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika
kita mampu melihat ke kedalaman jiwa.
Diperlukan kearifan untuk menjenguknya.
Dan itu butuh proses, wahai sobat mudaku.
Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur
kata dan sikap yang kita dengar dan lihat
sekilas. Seringkali yang disangka emas
ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai
loyang ternyata emas."

No comments:

Post a Comment