Wednesday, October 10, 2012

Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel
besar dan anak lelaki yang senang bermain-
main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia
senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon,
memakan buahnya, tidur-tiduran di
keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki
itu sangat mencintai pohon apel itu.
Demikian pula pohon apel sangat mencintai
anak kecil itu.
Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah
tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main
dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu
hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya
tampak sedih.
“Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,”
pinta pohon apel itu.
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main
dengan pohon lagi.” jawab anak lelaki itu.
“Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku
tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku
pun tak punya uang… tetapi kau boleh
mengambil semua buah apelku dan
menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang
untuk membeli mainan kegemaranmu.”
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik
semua buah apel yang ada di pohon dan
pergi dengan penuh suka cita. Namun,
setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi.
Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon
apel sangat senang melihatnya datang.
“Ayo bermain-main denganku lagi.” kata
pohon apel.
“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan rumah untuk tempat tinggal.
Maukah kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi
kau boleh menebang semua dahan rantingku
untuk membangun rumahmu.” kata pohon
apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua
dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi
dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa
bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi
anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.
Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu
datang lagi. Pohon apel merasa sangat
bersuka cita menyambutnya.
“Ayo bermain-main lagi denganku.” kata
pohon apel.
“Aku sedih,” kata anak lelaki itu.
“Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku
ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah
kau memberi aku sebuah kapal untuk
pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau
boleh memotong batang tubuhku dan
menggunakannya untuk membuat kapal yang
kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-
senanglah.”
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang
pohon apel itu dan membuat kapal yang
diidamkannya. ia lalu pergi berlayar dan tak
pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah
bertahun-tahun kemudian.
“Maaf anakku,” kata pohon apel itu.
“Aku sudah tak memiliki buah apel lagi
untukmu.”
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi
untuk mengigit buah apelmu.” Jawab anak
lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan
yang bisa kau panjat.” Kata pohon apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu.”
jawab anak lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi
yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa
hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan
sekarat ini.” Kata pohon apel itu sambil
menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang.”
kata anak lelaki.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk
beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian
lama meninggalkanmu.”
“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar
pohon tua adalah tempat terbaik untuk
berbaring dan beristirahat. Mari, marilah
berbaring di pelukan akar-akarku dan
beristirahatlah dengan tenang.”
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar
pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan
tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon
apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita
muda, kita senang bermain-main dengan
ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar,
kita meninggalkan mereka, dan hanya datang
ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam
kesulitan. Tak peduli apapun, orang tua kita
akan selalu ada di sana untuk memberikan
apa yang bisa mereka berikan untuk
membuat kita bahagia.

No comments:

Post a Comment