Cintailah Mama kita sebagai mana kita mencitai diri kita sendiri
Alkisah,
ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Sang pria berasal dari keluarga
kaya, dan merupakan orang yang terpandang di kota tersebut. Sedangkan
sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba kekurangan, tetapi cantik,
lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah yang membuat sang pria jatuh
hati.
Sang
wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah, dengan membawa
sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga, orang tua sang pria
tidak menyukai wanita tersebut. Sebagai orang yang terpandang di kota tersebut, latar
belakang wanita tersebut akan merusak reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka
bahkan telah mencarikan jodoh yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha
menyakinkan orang tuanya, bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun
resikonya bagi dia.
Sang
wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita tersebut bahwa
tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus berargumen dengan orang
tuanya, bahkan membantah perkataan orangtuanya, sesuatu yang belum pernah
dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu, umumnya seorang anak sangat tunduk
pada orang tuanya).
Sebulan
telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orangtuanya agar menerima calon istrinya.
Sang orang tua juga stress karena gagal membujuk anak satu-satunya, agar
berpisah dengan wanita tersebut, yang menurut mereka akan sangat merugikan masa
depannya.
Sang
pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan untuk meninggalkan
semuanya demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun ditetapkan, tetapi rupanya
rencana ini diketahui oleh orang tua sang pria. Maka ketika saatnya tiba, sang
orangtua mengunci anaknya di dalam kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di
rumahnya yang besar.
Sebagai
gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah ditentukan sepasang
kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang wanita sangat terkejut dengan
kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka kemudian memohon pengertian dari sang
wanita, agar meninggalkan anak mereka satu-satunya. Menurut mereka, dengan
perbedaan status sosial yang sangat besar, perkawinan mereka hanya akan menjadi
gunjingan seluruh penduduk kota,
reputasi anaknya akan tercemar, orang-orang tidak akan menghormatinya lagi.
Akibatnya, bisnis yang akan diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut secara
perlahan-lahan.
Mereka
bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan agar wanita
tersebut meninggalkan kota
ini, tidak bertemu dengan anaknya lagi, dan menggugurkan kandungannya. Uang
tersebut dapat digunakan untuk membiayai hidupnya di tempat lain.
Sang
wanita menangis tersedu-sedu. Dalam hati kecilnya, ia sadar bahwa perbedaan
status sosial yang sangat jauh, akan menimbulkan banyak kesulitan bagi
kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk meninggalkan kota ini, tetapi menolak untuk menerima uang
tersebut. Ia mencintai sang pria, bukan uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar,
jalan hidupnya ke depan akan sangat sulit?.
Ibu
sang pria kembali memohon kepada wanita tersebut untuk meninggalkan sepucuk surat kepada mereka, yang
menyatakan bahwa ia memilih berpisah dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir
anaknya akan terus mencari kekasihnya, dan tidak mau meneruskan usaha orang
tuanya. “Walaupun ia kelak bukan suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya
sebagai seseorang yang berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua”, kata
sang ibu.
Dengan
berat hati, sang wanita menulis surat.
Ia menjelaskan bahwa ia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia
sadar bahwa keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena
telah melanggar janji setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama
dalam menghadapi penolakan-penolakan akibat perbedaan status sosial mereka. Ia
tidak kuat lagi menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk berpisah.
Tetesan
air mata sang wanita tampak membasahi surat
tersebut. Sang wanita yang malang
tersebut tampak tidak punya pilihan lain. Ia terjebak antara moral dan
cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota
itu, sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil. Disana, ia bertekad
untuk melahirkan dan membesarkan anaknya.
Detik
.. Menit …. Jam …. Hari …. Minggu ………Tahun …… Tak terasa Tiga tahun telah
berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi seorang ibu. Anaknya seorang laki-laki.
Sang ibu bekerja keras siang dan malam, untuk membiayai kehidupan mereka. Di
pagi dan siang hari, ia bekerja di sebuah industri rumah tangga, malamnya, ia
menyuci pakaian2 tetangga dan menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan.
Kebanyakan ia melakukan semua pekerjaan ini sambil menggendong anak di
punggungnya. Walaupun ia cukup berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain
tidak memungkinkan, karena ia harus berada di sisi anaknya setiap saat.
Tetapi
sang ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Di usia tiga tahun, suatu
saat, sang anak tiba-tiba sakit keras. Demamnya sangat tinggi. Ia segera dibawa
ke rumah sakit setempat. Anak tersebut harus menginap di rumah sakit selama
beberapa hari. Biaya pengobatan telah menguras habis seluruh tabungan dari
hasil kerja kerasnya selama ini, dan itupun belum cukup. Ibu tersebut akhirnya
juga meminjam ke sana-sini, kepada siapapun yang bermurah hati untuk memberikan
pinjaman.
Saat
diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup ramuan, untuk
mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri dari obat-obatan
herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi sang ibu hanya mampu
membeli obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya uang sepeserpun lagi untuk
membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak mungkin, karena ia telah
berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan belum terbayar.
Ketika
di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa, untuk mendapatkan
daging. Toko daging di desa tersebut telah menolak permintaannya, untuk bayar
di akhir bulan saat gajian. Diantara tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide.
Ia mencari alkohol yang ada di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong
kain. Setelah pisau dapur dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil sekerat
daging dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur, ia
mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan. Sang ibu tengah
berjuang mengambil dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak mengeluarkan suara
kesakitan yang teramat sangat?..
Hujan
lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan rintihan kesakitan sang ibu tidak
terdengar oleh para tetangga, terutama oleh anaknya sendiri. Tampaknya langit
juga tersentuh dengan pengorbanan yang sedang dilakukan oleh sang ibu ………… .
Enam
tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, cerdas,
dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di hari minggu, mereka
sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain bersama, dan bersama-sama
menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau” (terjemahannya “Di Dunia ini,
hanya ibu seorang yang baik”).
Sang
anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga toko, karena
ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari. Hari-hari mereka lewatkan
dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak terkadang memaksa ibunya, agar
ia bisa membantu ibunya menyuci di malam hari. Ia tahu ibunya masih menyuci di
malam hari, karena perlu tambahan biaya untuk sekolahnya. Ia memang seorang
anak yang cerdas. Ia juga tahu, bulan depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia
berniat membelikan sebuah jam tangan, yang sangat didambakan ibunya selama ini.
Ibunya pernah mencobanya di sebuah toko, tetapi segera menolak setelah pemilik
toko menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak terlalu mewah,
tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih banyak keperluan lain yang perlu
dibiayai.
Sang
anak segera pergi ke toko tersebut, yang tidak jauh dari rumahnya. Ia meminta
kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam tangan tersebut, karena ia akan
membelinya bulan depan. “Apakah kamu punya uang?” tanya sang pemilik toko.
“Tidak sekarang, nanti saya akan punya”, kata sang anak dengan serius.
Ternyata,
bulan depan sang anak benar-benar muncul untuk membeli jam tangan tersebut.
Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya main-main. Ketika menyerahkan
uangnya, sang kakek bertanya “Dari mana kamu mendapatkan uang itu? Bukan
mencuri kan?”.
“Saya tidak mencuri, kakek. Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Saya
biasanya naik becak pulang pergi ke sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan
kaki saat pulang dari sekolah ke rumah, uang jajan dan uang becaknya saya
simpan untuk beli jam ini. Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya,
jangan beritahu ibuku tentang hal ini. Ia akan marah” kata sang anak. Sang
pemilik toko tampak kagum pada anak tersebut.
Seperti
biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore hari. Sang anak segera memberikan
ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan jam tangan tersebut. Sang ibu terkejut
bercampur haru, ia bangga dengan anaknya. Jam tangan ini memang adalah
impiannya. Tetapi sang ibu tiba-tiba tersadar, dari mana uang untuk membeli jam
tersebut. Sang anak tutup mulut, tidak mau menjawab.
“Apakah
kamu mencuri, Nak?” Sang anak diam seribu bahasa, ia tidak ingin ibu mengetahui
bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah ditanya berklai-kali tanpa
jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah mencuri. “Walaupun kita
miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu sudah mengajari kamu tentang hal
ini?” kata sang ibu.
Lalu
ibu mengambil rotan dan mulai memukul anaknya. Biarpun ibu sayang pada anaknya,
ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang anak menangis, sedangkan air mata
sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu perih, karena ia sedang memukul
belahan hatinya. Tetapi ia harus melakukannya, demi kebaikan anaknya. Suara
tangisan sang anak terdengar keluar. Para tetangga menuju ke rumah tersebut
heran, dan kemudian prihatin setelah mengetahui kejadiannya. “Ia sebenarnya
anak yang baik”, kata salah satu tetangganya.
Kebetulan
sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah salah satu tetangganya
yang merupakan familinya. Ketika ia keluar melihat ke rumah itu, ia segera
mengenal anak itu. Ketika mengetahui persoalannya, ia segera menghampiri ibu
itu untuk menjelaskan. Tetapi tiba-tiba sang anak berlari ke arah pemilik toko,
memohon agar jangan menceritakan yang sebenarnya pada ibunya.
“Nak,
ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidak boleh
menyembunyikan sesuatu dari ibunya”. Sang anak mengikuti nasehat kakek itu.
Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba-tiba muncul di
tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam tangan tersebut, dan
sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul siang tadi di tokonya, katanya
hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Ia juga menceritakan bagaimana sang
anak berjalan kaki dari sekolahnya pulang ke rumah dan tidak jajan di sekolah
selama sebulan ini, untuk mengumpulkan uang membeli jam tangan kesukaan ibunya.
Tampak
sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal tersebut, begitu
pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak kesayangannya, keduanya
menangis dengan tersedu-sedu.”Maafkan saya, Nak.”
“Tidak Bu, saya yang bersalah”
Sementara
itu, ternyata ayah dari sang anak sudah menikah, tetapi istrinya mandul. Mereka
tidak punya anak. Sang orangtua sangat sedih akan hal ini, karena tidak akan
ada yang mewarisi usaha mereka kelak. Ketika sang ibu dan anaknya
berjalan-jalan ke kota,
dalam sebuah kesempatan, mereka bertemu dengan sang ayah dan istrinya. Sang
ayah baru menyadari bahwa sebenarnya ia sudah punya anak dari darah dagingnya
sendiri. Ia mengajak mereka berkunjung ke rumahnya, bersedia menanggung semua
biaya hidup mereka, tetapi sang ibu menolak. Kami bisa hidup dengan baik tanpa
bantuanmu.
Berita
ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka begitu ingin melihat
cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan.
Di
pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter mengatakan bahwa
penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang konsisten. Kalau kambuh
lagi, akan membahayakan jiwanya. Keuangan sang ibu sudah agak membaik,
dibandingkan sebelumnya. Tetapi biaya medis tidaklah murah, ia tidak sanggup
membiayainya. Sang ibu kembali berpikir keras. Tetapi ia tidak menemukan solusi
yang tepat. Satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan anaknya kepada sang
ayah, karena sang ayahlah yang mampu membiayai perawatannya.
Maka
di hari Minggu ini, sang ibu kembali mengajak anaknya berkeliling kota, bermain-main di
taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali, menyanyikan lagu “Shi Sang Chi
You Mama Hau”, lagu kesayangan mereka. Untuk sejenak, sang ibu melupakan semua
penderitaannya, ia hanyut dalam kegembiraan bersama sang anak. Sepulang ke
rumah, ibu menjelaskan keadaannya pada sang anak. Sang anak menolak untuk
tinggal bersama ayahnya, karena ia hanya ingin dengan ibu. “Tetapi ibu tidak
mampu membiayai perawatan kamu, Nak” kata ibu. “Tidak apa-apa Bu, saya tidak
perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila bisa bersama-sama dengan ibu. Bila sudah
besar nanti, saya akan cari banyak uang untuk biaya perawatan saya dan untuk
ibu. Nanti, ibu tidak perlu bekerja lagi, Bu”, kata sang anak. Tetapi ibu
memaksa akan berkunjung ke rumah sang ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang
bisa kambuh setiap saat.
Disana
ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya. Keduanya sangat senang melihat anak
imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang anak meronta-ronta ingin ikut
pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan mainan kesukaan sang anak, yang tidak
pernah ia peroleh saat bersama ibunya, sang anak menolak. “Saya ingin Ibu, saya
tidak mau mainan itu”, teriak sang anak dengan nada yang polos. Dengan hati
sedih dan menangis, sang ibu berkata “Nak, kamu harus dengar nasehat ibu.
Tinggallah di sini. Ayah, kakek dan nenek akan bermain bersamamu.” “Tidak, aku
tidak mau mereka. Saya hanya mau ibu, saya sayang ibu, bukankah ibu juga sayang
saya? Ibu sekarang tidak mau saya lagi”, sang anak mulai menangis.
Bujukan
demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah besar tersebut tidak didengarkan
anak kecil tersebut. Sang anak menangis tersedu-sedu “Kalau ibu sayang padaku,
bawalah saya pergi, Bu”. Sampai pada akhirnya, ibunya memaksa dengan mengatakan
“Benar, ibu tidak sayang kamu lagi. Tinggallah disini”, ibunya segera lari
keluar meninggalkan rumah tersebut. Tampak anaknya meronta-ronta dengan ledakan
tangis yang memilukan.
Di
rumah, sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu menyayat hati, ia
telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan menjenguk anaknya, tetapi
mereka berjanji akan merawat anaknya dengan baik. Diantara isak tangisnya, ia
tidak menemukan arti hidup ini lagi. Ia telah kehilangan satu-satunyanya alasan
untuk hidup, anaknya tercinta.
Kemudian
ibu yang malang
itu mengambil pisau dapur untuk memotong urat nadinya. Tetapi saat akan
dilakukan, ia sadar bahwa anaknya mungkin tidak akan diperlakukan dengan baik.
Tidak, ia harus hidup untuk mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik.
Segera, niat bunuh diri itu dibatalkan, demi anaknya juga……….
Setahun
berlalu. Sang ibu telah pindah ke tempat lain, mendapatkan kerja yang lebih
baik lagi. Sang anak telah sehat, walaupun tetap menjalani perawatan medis
secara rutin setiap bulan. Seperti biasa, sang anak ingat akan hari ulang tahun
ibunya. Uang pun dapat ia peroleh dengan mudah, tanpa perlu bersusah payah
mengumpulkannya. Maka, pada hari tersebut, sepulang dari sekolah, ia tidak
pulang ke rumah, ia segera naik bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya, yang memakan
waktu beberapa jam. Sang anak telah mempersiapkan setangkai bunga, sepucuk surat yang menyatakan ia
setiap hari merindukan ibu, sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun, dan nilai
ujian yang sangat bagus. Ia akan memberikan semuanya untuk ibu.
Sang anak
berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju rumahnya. Tetapi ketika
sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah kosong. Tetangga mengatakan
ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu kemana ibunya pergi. Sang anak
tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk di depan rumah tersebut, menangis “Ibu
benar-benar tidak menginginkan saya lagi.”
Sementara
itu, keluarga sang ayah begitu cemas, ketika sang anak sudah terlambat pulang
ke rumah selama lebih dari 3 jam. Guru sekolah mengatakan semuanya sudah
pulang. Semua tempat sudah dicari, tetapi tidak ada kabar. Mereka panik. Sang
ayah menelpon ibunya, yang juga sangat terkejut. Polisi pun dihubungi untuk
melaporkan anak hilang.
Ketika
sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Hari ini adalah
hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai melupakannya. Anaknya mungkin
pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu segera naik mobil menuju rumah
tersebut. Sayangnya, mereka hanya menemukan kartu ulang tahun, setangkai bunga,
nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat
anaknya. Sang ibu tidak mampu menahan tangisannya, saat membaca tulisan-tulisan
imut anaknya dalam surat
itu.
Hari
mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tersebut, tanpa mendapatkan
petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu membakar dupa,
berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis ia memohon agar bisa
menemukan anaknya.
Seperti
mendapat petunjuk, sang ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan anaknya pernah pergi
ke sebuah kuil Kuan Im di desa tersebut. Ibunya pernah berkata, bahwa bila kamu
memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im yang welas asih. Dewi Kuan
Im pasti akan menolongmu, jika niat kamu baik. Ibunya memprediksikan bahwa
anaknya mungkin pergi ke kuil tersebut untuk memohon agar bisa bertemu dengan
dirinya.
Benar
saja, ternyata sang anak berada di sana.
Tetapi ia pingsan, demamnya tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya
untuk dilarikan ke rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh
dari tangga, dan berguling-guling jatuh ke bawah……….
Sepuluh
tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah memasuki bangku kuliah. Ia sering
beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan ibunya. Sejak jatuh dari tangga,
ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak telah banyak menghabiskan uang untuk
mencari ibunya kemana-mana, tetapi hasilnya nihil.
Siang
itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama dengan teman
wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil, di persimpangan
sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang mengemis. Ibu tersebut
terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia tidak pernah melihat wanita itu
sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia tampak berkomat-kamit. Di dorong rasa ingin
tahu, ia menghentikan mobilnya, dan turun bersama pacar untuk menghampiri
pengemis tua itu. Ternyata sang pengemis tua sambil mengacungkan kaleng kosong
untuk minta sedekah, ia berucap dengan lemah “Dimanakah anakku? Apakah kalian
melihat anakku?”. Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa disadari, ia
segera menyanyikan lagu “Shi Sang Ci You Mama Hau” dengan suara perlahan, tak
disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara lemah. Mereka
berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang selalu
menyanyikan lagu tersebut saat ia kecil, sang anak segera memeluk pengemis tua
itu dan berteriak dengan haru “Ibu? Ini saya ibu”.
Sang
pengemis tua itu terkejut, ia meraba-raba muka sang anak, lalu bertanya,
“Apakah kamu ??..(nama anak itu)?” “Benar bu, saya adalah anak ibu?”. Keduanya
pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya berbaur membasahi bumi …………… .
Karena
jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur kepalanya menjadi hilang ingatan,
tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun terus mencari anaknya, tanpa peduli
dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang menganggapnya sebagai orang gila.
Perenungkan
untuk kita renungkan bersama-sama:
Dalam
kondisi kritis, Ibu kita akan melakukan apa saja demi kita. Ibu bahkan rela
mengorbankan nyawanya.. Simaklah penggalan doa keputusasaan berikut ini, di
saat Ibu masih muda, ataupun disaat Ibu sudah tua :
1.
Anakku masih kecil, masa depannya masih panjang. Oh Tuhan, ambillah aku sebagai
gantinya.
2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
Diantara
orang-orang disekeliling Anda, yang Anda kenal, Saudara/I kandung Anda,
diantara lebih dari 6 Milyar manusia, siapakah yang rela mengorbankan nyawanya
untuk Anda, kapan pun, dimana pun, dengan cara apapun ………..
“Ibu kita adalah Orang Yang Paling Mulia di dunia ini”.
No comments:
Post a Comment