Friday, January 27, 2012

Tiga Karung Beras

Ini adalah makanan yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Kisah ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin,
yang memiliki seorang anak laki-laki.
Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan anak laki-lakinya untuk saling menopang.

Ibunya bersusah payah seorang membesarkan anaknya,
saat itu kampung tersebut belum memiliki listrik.
Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak,
sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak.

Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas.
Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah
sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah.
Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh
kg beras untuk dibawa kekantin sekolah.
Sang anak mengerti bahwa ibuya tidak mungkin bisa memberikan
tiga puluh kg beras tersebut. Dan kemudian berkata kepada ibunya:
" Ma, saya mau berhenti sekolah dan membantu mama bekerja disawah".
Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata :
"Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi
kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan kamu,
pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan kesekolah nanti
berasnya mama yang akan bawa kesana".

Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan kesekolah,
mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang
anak ini dipukul oleh mamanya. Sang anak akhirnya pergi juga kesekolah.
Sang ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan
anaknya yang pergi menjauh. Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan
nafas tergesa-gesa Ibunya datang kekantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya.

Pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka
kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata :
" Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil,
kalian lihat, disini isinya campuran beras dan gabah.
Jadi kalian kira kantin saya ini tempat penampungan beras campuran".

Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.
Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam kantin.
Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut
dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata:
"Masih dengan beras yang sama". Pengawas itupun berpikir,
apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian
berkata : "Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi
jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang
dimasak tidak bisa matang sempurna.

Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya" .Sang ibu sedikit takut dan berkata : "Ibu pengawas, beras dirumah kami
semuanya seperti ini jadi bagaimana? Pengawas itu pun tidak mau tahu dan
berkata : "Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam bermacam- macam
jenis beras". Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak
berani berkata apa-apa lagi.

Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas kembali
marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata: "Kamu sebagai mama kenapa begitu
keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu!".
Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata:
"Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis".
Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk diatas lantai,
menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan membengkak.

Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata:
"Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah,
apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti
sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi."
Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung sebelah.
Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya. Setiap hari pagi-pagi buta
dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi kekampung sebelah untuk mengemis.
Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali kekampung sendiri.
Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan kesekolah.
Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas
itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan
berkata: "Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa
diberikan sumbangan untuk keluarga ibu." Sang ibu buru- buru menolak dan berkata:
"Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya,
maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya.
Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa
menjaga rahasia ini."

Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah.
Secara diam- diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak
tersebut selama tiga tahun. Setelah Tiga tahun kemudian, sang anak tersebut
lulus masuk ke perguruan tinggi qing hua dengan nilai 627 point.

Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini
duduk diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang
mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang.
Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras.

Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah
sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah.
Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru
dan berkata : "Inilah sang ibu dalam cerita tadi."

Dan mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik keatas mimbar.
Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan melihat
gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar.
Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan.
Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada anaknya.
Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan berkata:
"Oh Mamaku...... ......... ...


No comments:

Post a Comment